Program makan bergizi gratis (MBG) menjadi salah satu program unggulan pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Diluncurkan dengan tujuan mulia, yaitu menekan angka stunting, meningkatkan konsentrasi belajar siswa, dan menjamin akses gizi yang merata bagi anak-anak di seluruh Indonesia, program ini menghabiskan dana yang fantastis: hingga triliunan rupiah. Namun, setelah hampir satu tahun berjalan, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang serius. Sekolah-sekolah di pelosok negeri masih banyak yang belum tersentuh oleh program ini, padahal mereka justru yang paling membutuhkan.

Latar Belakang: Stunting dan Masalah Gizi Anak Indonesia
Indonesia masih berjuang menghadapi masalah stunting dan gizi buruk. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 dari Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting nasional turun dari 21,5% (2023) menjadi 19,8% (2024). Angka ini memang menunjukkan kemajuan, tetapi masih jauh dari target 14,2% pada 2029 sebagaimana ditetapkan dalam RPJMN. Selain itu, prevalensi anemia pada remaja putri juga masih tinggi, sekitar 32%, yang berdampak langsung pada kesehatan dan kemampuan belajar mereka.
Dengan data tersebut, jelas bahwa intervensi gizi melalui sekolah menjadi strategi penting. Anak-anak sekolah dasar dan menengah berada pada fase pertumbuhan krusial, sehingga ketersediaan makanan sehat dan bergizi sangat menentukan masa depan mereka. Inilah yang kemudian melahirkan gagasan program makan bergizi gratis: memberi akses makanan bergizi secara merata, terutama untuk kelompok rentan.
Besarnya Anggaran Program Makan Bergizi Gratis
Pemerintah mengalokasikan dana yang sangat besar untuk program ini. Dalam APBN 2025, anggaran awal yang disediakan mencapai Rp71 triliun. Bahkan, menurut laporan Fortune Indonesia, kebutuhan anggaran bisa membengkak hingga Rp171 triliun pada tahun 2025 karena perluasan jumlah penerima manfaat dan pembangunan dapur umum (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG). Sementara itu, Bisnis.com melaporkan bahwa hingga akhir 2025, estimasi kebutuhan total mencapai sekitar Rp121 triliun.
Dengan angka sebesar itu, publik tentu berharap hasil nyata dapat segera dirasakan. Apalagi, sasaran penerima manfaat program ini tidak kecil: sekitar 82,9 juta orang, mencakup siswa sekolah, santri, ibu hamil, ibu menyusui, serta balita. Jika berjalan efektif, program ini berpotensi menjadi tonggak sejarah dalam perbaikan gizi nasional.
Realisasi Anggaran yang Masih Seret
Meskipun anggaran yang digelontorkan sangat besar, realisasi penggunaannya di lapangan masih jauh dari harapan. Hingga pertengahan 2025, serapan anggaran masih rendah. Data IDN Times menyebutkan bahwa per 30 Juni 2025, realisasi anggaran baru mencapai sekitar Rp5 triliun atau sekitar 7% dari total Rp71 triliun. Laporan lain dari Bisnis.com pada Agustus 2025 mencatat bahwa serapan baru mencapai Rp10,3 triliun, dengan penerima manfaat sekitar 20 juta orang.
Artinya, dari target 82,9 juta penerima manfaat, baru sekitar seperempatnya yang benar-benar menikmati program ini. Angka ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana aliran anggaran triliunan rupiah itu, dan mengapa realisasinya begitu lambat?
Kesenjangan Kota dan Pelosok dalam Program Makan Bergizi Gratis
Di banyak sekolah di perkotaan, program ini relatif lebih mudah dijalankan. Infrastruktur jalan, akses transportasi, dan keberadaan penyedia makanan membuat distribusi berjalan lebih lancar. Namun, kondisi sangat berbeda di sekolah-sekolah pelosok. Hingga kini, banyak laporan dari guru dan kepala sekolah di daerah terpencil menyebutkan bahwa mereka belum pernah menerima bantuan maupun fasilitas terkait program MBG.
Ironisnya, daerah pelosok justru yang paling rentan terhadap masalah gizi. Misalnya, di wilayah NTT, Papua, dan Maluku, prevalensi stunting masih berada di atas rata-rata nasional. Anak-anak di daerah ini berangkat sekolah dengan perut kosong, berjalan jauh, bahkan melewati sungai dan bukit. Namun, program makan bergizi gratis yang digadang-gadang sebagai solusi, belum hadir di hadapan mereka.
Masalah Distribusi, Manajemen, dan Transparansi
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan program makan bergizi gratis sulit menjangkau daerah pelosok:
- Distribusi logistik – Infrastruktur jalan dan transportasi yang terbatas membuat biaya distribusi ke pelosok jauh lebih tinggi dibandingkan di kota.
- Manajemen program – Belum ada sistem koordinasi yang solid antara pemerintah pusat, daerah, dan pihak sekolah. Banyak sekolah bahkan belum mendapat informasi teknis terkait mekanisme penyaluran program.
- Transparansi anggaran – Dengan anggaran mencapai puluhan hingga ratusan triliun, publik berhak tahu berapa persen dana yang benar-benar tersalurkan ke siswa. Sayangnya, laporan penggunaan dana masih minim dan sulit diakses masyarakat.
Ketidakjelasan ini menimbulkan potensi penyalahgunaan anggaran. Tanpa transparansi yang memadai, sulit memastikan bahwa dana yang digelontorkan benar-benar dipakai untuk memberikan makanan bergizi kepada anak-anak yang membutuhkan.
Dampak Kegagalan Program bagi Anak Sekolah di Pelosok
Ketiadaan akses program makan bergizi gratis di daerah pelosok membawa dampak serius:
- Kesehatan anak terancam – Anak-anak tetap rawan stunting dan gizi buruk, yang dapat menghambat pertumbuhan mereka.
- Kualitas belajar menurun – Banyak siswa datang ke sekolah tanpa sarapan. Tanpa energi yang cukup, mereka sulit berkonsentrasi dan prestasi akademik menurun.
- Kesenjangan pendidikan melebar – Siswa di kota menikmati fasilitas tambahan berupa makanan bergizi, sementara siswa di pelosok semakin tertinggal.
Penelitian menunjukkan bahwa gizi berhubungan erat dengan kognisi dan prestasi belajar. Anak yang mendapat gizi cukup memiliki kemampuan memori dan konsentrasi lebih baik. Maka, jika program ini gagal menyentuh pelosok, maka tujuan peningkatan kualitas pendidikan nasional akan sulit tercapai.
Opini Penulis: Kritik terhadap Program Makan Bergizi Gratis
Melihat data dan fakta yang ada, penulis menilai program makan bergizi gratis masih jauh dari efektif. Ada beberapa kritik utama yang perlu digarisbawahi:
- Prioritas yang salah – Program lebih banyak berjalan di kota, padahal kebutuhan paling besar justru di pelosok.
- Distribusi tidak efisien – Biaya besar dikeluarkan, tapi realisasi sangat kecil. Hal ini menunjukkan adanya masalah serius dalam manajemen distribusi.
- Transparansi minim – Publik tidak mendapatkan laporan detail tentang alokasi dana per daerah, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan.
Program ini seharusnya menjadi tonggak sejarah dalam memutus rantai kemiskinan dan stunting. Namun, jika pola pelaksanaannya tidak segera diperbaiki, ia akan berisiko menjadi program mercusuar: terlihat megah di atas kertas, tetapi minim dampak nyata.
Rekomendasi Perbaikan
Agar program makan bergizi gratis dapat benar-benar bermanfaat, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh pemerintah:
- Fokus pada pelosok – Jadikan sekolah di daerah tertinggal sebagai prioritas utama.
- Libatkan masyarakat lokal – Bekerja sama dengan petani, nelayan, dan UMKM setempat dalam penyediaan bahan makanan agar program lebih berkelanjutan.
- Perbaiki sistem distribusi – Bangun dapur umum di lokasi strategis dan pastikan rantai logistik berjalan efisien.
- Perkuat transparansi – Publikasikan laporan anggaran secara terbuka dan berkala, sehingga masyarakat dapat mengawasi langsung.
Penutup
Program makan bergizi gratis merupakan kebijakan yang sangat penting bagi masa depan bangsa. Dengan anggaran hingga ratusan triliun, program ini seharusnya mampu menjangkau setiap anak Indonesia, baik di kota maupun di pelosok. Namun kenyataan menunjukkan bahwa setelah hampir setahun berjalan, sekolah-sekolah di daerah terpencil belum merasakan manfaatnya.
Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh: dari manajemen distribusi, keterlibatan masyarakat lokal, hingga transparansi penggunaan anggaran. Karena hanya dengan langkah konkret dan merata, program makan bergizi gratis dapat benar-benar mewujudkan cita-citanya: membangun generasi sehat, cerdas, dan berdaya saing untuk masa depan Indonesia.
Terimakasih Kamu sudah membaca Tulisan kami mengenai Program Makan Bergizi Gratis: Antara Janji, Fakta dan Realitas. Semoga Bermanfaat dan jangan lupa bagikan artikel ini dengan klik link berbagi dibawah ini.