Ketika Disiplin Disalahpahami: Catatan Seorang Guru Tentang Kasus SMAN 1 Cimarga

Beberapa hari terakhir, linimasa saya ramai sekali dengan kabar dari SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten. Seorang siswa ketahuan merokok di sekolah, lalu ditampar oleh kepala sekolahnya. Tak lama kemudian, sang kepala sekolah dinonaktifkan, dan ratusan siswa mogok belajar sebagai bentuk solidaritas terhadap teman mereka yang merokok.

Sebagai seorang guru, jujur saya ikut terhenyak. Bukan hanya karena tindakan fisik yang terjadi, tapi karena reaksi para siswa yang justru membela pelanggaran. Saya jadi merenung panjang—apa yang sebenarnya sedang kita alami di dunia pendidikan saat ini?


1. Saat Disiplin Dianggap Kekerasan

Saya tahu, menampar siswa memang bukan cara yang benar untuk mendisiplinkan.
Sebagai guru, kita terikat pada kode etik dan undang-undang perlindungan anak, dan tidak ada pembenaran untuk melakukan kekerasan, sekecil apa pun bentuknya.
Tapi saya juga tahu, di balik tindakan itu, sering kali ada niat baik yang salah arah—keinginan untuk menegakkan disiplin, tapi dengan cara yang tidak tepat.

Yang membuat saya sedih bukan hanya soal tamparan itu.
Lebih dalam dari itu, saya miris melihat bagaimana banyak siswa justru membela perilaku merokok di sekolah atas nama solidaritas.
Solidaritas itu bagus—tapi kalau digunakan untuk membenarkan yang salah, bukankah itu justru menyesatkan?


2. Merokok di Sekolah Bukan Sekadar Pelanggaran, Tapi Cermin Nilai

Saya masih ingat dulu waktu saya jadi siswa, merokok di sekolah itu hal yang memalukan.
Sekarang, entah kenapa, sebagian anak justru menganggapnya keren.
Padahal jelas-jelas ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2015 yang melarang siapa pun merokok di lingkungan sekolah.
Sekolah adalah zona bebas rokok, dan itu bukan cuma tulisan di papan larangan—itu komitmen moral.

Merokok di sekolah itu bukan sekadar melanggar tata tertib.
Itu simbol dari bagaimana kita memandang otoritas, aturan, dan nilai.
Kalau di sekolah saja kita abai terhadap aturan sederhana seperti “tidak boleh merokok”, bagaimana nanti ketika kita menghadapi aturan yang lebih besar di masyarakat?


3. Solidaritas Tanpa Arah: Membela yang Salah?

Saya bisa memahami perasaan siswa-siswa di Cimarga.
Mereka mungkin merasa temannya diperlakukan tidak adil, dan ingin menunjukkan empati.
Tapi empati yang tidak disertai nalar bisa berubah jadi kekeliruan besar.

Solidaritas bukan berarti membenarkan kesalahan teman.
Kalau benar-benar peduli, seharusnya kita menasihati—bukan membela.
Membela teman yang salah justru menjerumuskan dia lebih jauh.

Saya sering bilang ke murid saya:

“Kalau kamu lihat temanmu melanggar aturan, bukan tugasmu untuk menutupinya. Tugasmu adalah menyelamatkannya dari kesalahan.”


4. Keteladanan Itu Dimulai dari Kita, Para Guru

Saya tahu betul, tidak semua guru sempurna.
Ada juga guru yang masih merokok di lingkungan sekolah, bahkan di depan siswa.
Jujur saja, itu juga salah.
Kita tidak bisa menuntut siswa untuk taat aturan kalau kita sendiri masih memberi contoh yang buruk.

Seorang guru, seberat apa pun hidupnya, tetap harus menjadi teladan.
Kalau kita ingin anak-anak menghargai aturan, maka kita sendiri harus hidup di bawah aturan itu.

Saya jadi ingat ucapan senior saya waktu awal mengajar dulu:

“Guru itu bukan hanya pengajar. Dia juga cermin. Kalau muridnya berperilaku buruk, mungkin karena cerminnya berdebu.”

Kalimat itu selalu terngiang setiap kali saya melihat kejadian seperti ini.


5. Di Balik Kasus Ini, Ada Panggilan untuk Kita Semua

Kasus di Cimarga seharusnya tidak hanya jadi bahan gosip atau amarah.
Ini seharusnya jadi momentum refleksi nasional—buat kita para guru, buat orang tua, dan buat siswa juga.

Untuk para guru, mari kita disiplin tanpa kekerasan, tegas tanpa amarah.
Untuk para siswa, mari belajar memahami bahwa aturan dibuat bukan untuk mengekang, tapi melindungi.
Dan untuk orang tua, mari dampingi anak-anak kita agar tahu bedanya empati dan pembenaran.

Saya percaya, pendidikan yang baik tidak bisa tumbuh di tanah yang kering dari keteladanan.
Kalau akar keteladanan kita patah, maka semua nilai yang kita ajarkan di kelas akan sia-sia.


6. Menutup Catatan Ini

Sebagai seorang guru, saya tidak ingin menjustifikasi tindakan siapa pun dalam kasus ini.
Tapi saya juga tidak ingin melihat generasi kita kehilangan arah dalam memahami makna disiplin.

Merokok di sekolah tetap salah.
Menampar siswa juga salah.
Tapi yang lebih salah lagi adalah ketika kita berhenti belajar dari kesalahan itu.

Semoga kejadian di Cimarga menjadi pelajaran, bukan sekadar trending topic.
Dan semoga semua sekolah di Indonesia—terutama kita para guru—bisa terus berbenah menjadi teladan yang sejati, bukan hanya di depan kelas, tapi juga di kehidupan nyata.

ArRahim

Terlahir untuk mengekspresikan, bukan untuk membuat terkesan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama